Tuesday, November 4, 2025

Dunia game daring kembali dihadapkan pada pertanyaan krusial: mengapa banyak game MMORPG gagal di era modern ini, terutama yang mengusung model live service? Fenomena ini menunjukkan bahwa daya tarik dunia virtual yang dulunya memukau, kini perlahan pudar. Artikel ini akan membahas tuntas penyebab MMORPG baru gagal bertahan di tengah persaingan industri yang ketat, merujuk pada analisis mendalam yang bersumber dari Gamebrott.

Ada masa ketika game bergenre Massively Multiplayer Online Role-Playing Game (MMORPG) menjadi primadona, menawarkan dunia terbuka luas dengan mob dan bos yang terus-menerus muncul. Mengumpulkan party, bergabung dengan guild, dan menuntaskan raid adalah rutinitas yang digandrungi gamer. Namun, di hari ini, semangat untuk kembali memainkannya terasa berkurang, dan tidak jarang judul-judul baru yang dirilis justru menemui akhir dalam hitungan satu atau dua tahun saja.

Alasan utama game MMORPG gagal di era live service
Tren game MMORPG gagal di pasar saat ini.

Pudar dan Menghilangnya Era Keemasan MMORPG

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pudarnya genre ini, ada baiknya kita mengingat kembali masa kejayaan MMORPG. Di masa lalu, game seperti Ragnarok Online, Yulgang, Atlantica, dan RF Online menjadi primadona di warnet. Bagi banyak gamer, MMORPG bukan hanya sekadar game, melainkan sebuah gaya hidup dan tempat untuk membangun komunitas sebelum era media sosial marak seperti sekarang. Anggota party terasa seperti sahabat, dan anggota guild layaknya keluarga.

Namun, seiring berjalannya waktu, ‘sihir’ yang dulu erat ini mulai memudar. Berbagai judul besar MMORPG terpaksa menutup servernya, sementara judul-judul baru yang diharapkan menggantikan justru tidak mampu bertahan lama. Sebuah game MMORPG gagal sering kali sudah bisa diprediksi akan memiliki masa operasi yang singkat, bahkan hanya beberapa tahun sejak hari pertama rilisnya.

Alasan MMORPG baru tidak bertahan lama
Berbagai alasan penyebab MMORPG baru gagal menarik minat pemain.

Tantangan Investasi dan Monetisasi MMORPG

Masalah fundamental yang menjadi penyebab MMORPG baru gagal adalah biaya investasi yang besar dan risiko tinggi. Pembuatan game MMORPG dari awal bisa memakan waktu 5 hingga 10 tahun dengan biaya pengembangan yang tidak sedikit. Dorongan ini memaksa publisher untuk menerapkan sistem monetisasi yang agresif guna mengembalikan biaya pengembangan dengan cepat.

Contohnya adalah New World, game MMORPG ambisius dari Amazon Games. Game ini, yang merupakan proyek besar dari Amazon Games, bahkan diprediksi akan menemui akhirnya pada tahun 2026. Ini menunjukkan betapa sulitnya menjaga kelangsungan MMORPG live service meskipun didukung oleh perusahaan raksasa.

Monetisasi buruk game MMO penyebab MMORPG gagal
Monetisasi yang buruk sering menjadi penyebab MMORPG baru gagal.

Salah satu akar masalah utama yang kerap membuat game MMORPG gagal adalah sistem monetisasi yang buruk. Diskusi di forum sering kali diwarnai keluhan seperti “game ini terlalu pay to win” atau “jarak antara pemain gratisan dan whaler terlalu jomplang”. Keseimbangan yang buruk antara kedua segmen pemain ini biasanya berujung pada menurunnya retensi pemain. Para pemain bertanya-tanya, untuk apa terus bermain jika hasilnya selalu terpaut jauh dari gamer berkocek tebal.

Sindrom akut ini juga membebani game asal Korea Selatan, Lost Ark. Selain rutinitas daily grind yang melelahkan, ia juga kerap menjadi sasaran kritik gamer akibat monetisasi yang terkesan rakus. Model bisnis semacam ini menjadi penyebab MMORPG baru gagal menarik dan mempertahankan basis pemain yang solid.

Ekspektasi yang Tidak Terpenuhi dan Gameplay Berulang

Ketika ada judul MMORPG baru beredar, janji yang diusung seringkali sama: game ini akan “berbeda dari yang sebelumnya” dengan “gameplay yang menjanjikan”. Namun, tidak jarang setelah dicicipi, tidak ada hal baru yang berhasil membuat pemain betah. Pengembang seringkali terlalu ambisius, ingin membuat game mereka menjadi “the Dark Souls of MMORPG” dengan combat yang sulit atau raid skala kompleks, tetapi tanpa arah yang jelas. Janji yang terlalu muluk berakhir dengan underdeliver, menjadi salah satu penyebab MMORPG baru gagal.

Pengalaman game Elyon yang biasa saja, contoh MMORPG gagal
Pengalaman yang ditawarkan game seperti Elyon terkadang “b aja”.

Contoh paling nyata adalah game Elyon, yang menjanjikan combat udara dan tema steampunk. Namun, realitasnya adalah optimalisasi seadanya, cerita dan konten in-game yang tidak menarik, serta grafis yang buruk menjadi kritikan utama. Di saat perilisan game kini semakin cepat dan bisa dilakukan oleh siapa saja, batasan untuk masuk ke dunia MMORPG menjadi kian tinggi. Game tidak bisa lagi hanya menjanjikan hal unik dan berharap pemain mau menunggu sambil dipoles. Jika sebuah game tidak cukup unik sejak awal, potensi ditinggalkan sudah hampir pasti, terutama untuk MMORPG live service yang jarang mendapat kesempatan kedua.

Game MMORPG baru yang terkesan generik
Desain game baru yang tidak menarik dan terkesan generik.

Judul-judul yang dibuat sekadar untuk tujuan cash grab tentu memiliki retensi pemain yang lebih rendah dibandingkan judul yang dikembangkan dengan passion seperti Final Fantasy XIV atau bahkan MMO shooter sekelas Helldivers II. Ketika game hanya berisikan daily yang sama diulang setiap hari, ia akan lebih mirip seperti pekerjaan kedua dibanding bermain game. Sayangnya, kondisi seperti itu sudah mendarah daging dan menjadi formula dari setiap MMORPG live service baru, terutama dari Korea Selatan.

Hasilnya, game baru rilis ini terkesan seperti carbon copy dari judul sebelumnya, namun hanya dibungkus dengan nama yang berbeda, oleh publisher yang berbeda, dengan formula yang sama. Ini tentu saja menjadi penyebab MMORPG baru gagal untuk membangun identitasnya sendiri dan menarik perhatian jangka panjang.

Kesulitan Retensi Pemain dan Returnee

Jika berpikir pemain tidak memberikan kesempatan untuk sebuah game MMORPG gagal, anggapan itu juga salah. Banyak gamer yang sudah bosan ingin mencicipi game terbaru yang dijanjikan. Mungkin game tersebut benar lebih revolusioner atau menawarkan sesuatu yang tidak ada di game lain. Namun, ekspektasi itu sering sirna usai gigitan pertama. Rumput tetangga yang menggoda ternyata hanyalah rumput plastik murahan, yang dibeli dengan harga mahal.

Pemain yang mencoba MMORPG baru sering berakhir kecewa dan menyerah. Rumput hijau yang menggoda itu ternyata masih kalah dengan apa yang ada di halaman mereka sendiri. Tidak jarang game MMORPG jadul masih memberi ruang untuk bernafas. Dengan gaya bermain yang lebih simpel seperti Ragnarok Online, pemain tidak perlu mengikuti konten yang didesain untuk terus dimainkan. Ada hari di mana mereka cuma ingin santai di tengah kota, atau AFK, cukup bercengkrama dengan sesama pemain, tanpa perlu grinding atau raid.

Game MMORPG terlalu timpang bagi player yang kembali
Kondisi game yang terlalu timpang bagi pemain yang kembali (returnee).

Kebanyakan MMORPG juga tidak didesain untuk pemain lama yang kembali setelah absen lama. Meskipun kadang diberikan item untuk mengejar ketertinggalan, seperti auto-level max atau set senjata kuat, permasalahan utamanya adalah game sudah terlalu kompleks untuk diikuti. Item baru menjadi sangat bloated, jumlahnya masif, dan kebanyakan tidak bisa digunakan karena limitasi level, class, atau batasan lainnya. Hasilnya, pemain yang baru kembali ini merasa kewalahan karena learning curve yang terlampau berat, menjadi penyebab MMORPG baru gagal mempertahankan mereka.

Belum lagi komunitas game itu sendiri yang tidak jarang melakukan gatekeep dan sulit menerima pemain baru dengan gear seadanya. Guild yang kompetitif sudah pasti penuh dengan pemain aktif setiap hari, sedangkan guild kasual biasanya tidak bisa membantu banyak karena gear mereka juga seadanya. Kalau sudah begitu, rasanya kembali ke game yang sempat membuat mereka bergairah bermain sepanjang hari ini terasa seperti menelan pil pahit. Teman guild sudah tidak aktif, dikombinasikan dengan desain game yang bukan untuk returnee, sudah cukup untuk membuat mereka berhenti bermain sekali lagi.

Pergeseran Fungsi Sosial dan Pasar Game

Dulu, memainkan MMORPG live service identik dengan membangun komunitas sesama pemain, baik dalam party maupun guild. Rasa haus untuk terus menjalin hubungan itu hanya bisa didapatkan dari game online. Belum eksis masa di mana media sosial mengambil alih hidup kita, dan chat dengan teman semudah berbicara di Discord. Sarana sosialisasi terbaik gamer ketika itu adalah dalam wujud video game, khususnya MMORPG.

Media sosial gantikan peran sosial MMORPG
Media sosial kini menggantikan peran sosial yang dulu diemban MMORPG.

Sedangkan sekarang, fungsi itu sudah diambil alih oleh media sosial. Fenomena ini menimbulkan masalah baru, yaitu pergeseran minat pasar yang berujung pada kurangnya regenerasi pemain baru. Agar sebuah genre bisa bertahan, ia membutuhkan regenerasi dari pemain yang jauh lebih muda. Jika game hanya diisi oleh gamer berumur senior saja, yang ada mereka sudah nyaman dengan judul lama dan tidak akan mau mencoba game baru. Perlahan, game baru tersebut akan semakin sepi, dan menjadi penyebab MMORPG baru gagal membangun komunitas yang hidup.

Mungkin banyak yang mengikuti kisah Blue Protocol, MMORPG live service buatan Bandai Namco Online yang harus tutup sebelum dua tahun perilisannya. Padahal, ia sudah digadang menjadi game MMO masa kini dengan hype yang tinggi. Lantas mengapa begitu rilis, ia gagal? Bahkan di pasar Jepang sendiri, game ini gagal meraih perhatian setelah beberapa bulan berjalan.

Populernya model gacha menjadi saingan MMORPG
Populernya model game gacha open world seperti Wuthering Waves menjadi saingan berat.

Jika spesifik membahas tentang Blue Protocol, masalah pada game ini punya beberapa lapisan yang kompleks. Namun, gamer di Jepang juga tampaknya lebih memilih memainkan game gacha yang sama-sama open world seperti Wuthering Waves atau Genshin Impact, ketimbang harus grinding berjam-jam di game yang repetitif. Belum lagi gamer yang banyak beralih memainkan game lintas platform. Game jenis ini tidak menawarkan gameplay loop yang lama, bisa berhenti kapan saja, dan proses yang relatif lebih cepat dibandingkan grind ala MMORPG.

Ditambah lagi, game mobile sekarang biasanya dibatasi oleh stamina sehingga konten tidak bisa diselesaikan dalam sekali jalan. Berbeda dengan game MMO di mana progres tidak terhalang oleh stamina, model grind tak terhingga juga membuat pemain baru merasa kewalahan. Tidak jarang game MMORPG gagal yang berkualitas terasa seperti lahir di era yang salah, ketika model game mobile yang lebih fleksibel sudah terlanjur matang. Game seperti Blue Protocol seharusnya akan bisa bertahan jika rilisnya 10 tahun lalu, ketika game open-world anime style tidak sepopuler saat ini, yang diisi oleh game gacha Tiongkok.

Gagalnya MMORPG live service bukan karena tidak lagi mampu menghasilkan ide, namun karena berbagai aspek yang membuatnya populer sudah mulai hilang atau ditinggalkan. Game yang dulunya berhasil “menculik” kita selama ratusan hingga ribuan jam dalam dunia virtual tersebut kini terasa seperti pekerjaan kedua dengan sistem monetisasi yang rakus. Apakah genre ini telah mati? Rasanya tidak, namun untuk bisa menemukan judul baru yang sukses rasanya akan seperti menunggu hujan turun di gurun.

Tags: , , , , , , , , ,

0 Comments

Leave a Comment